Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 mengamanatkan bahwa pendidikan nasional seharusnya dapat menjadi rumah disemainya dan ditularkannya karakter-karakter mulia kepada peserta didik. Namun hingga saat ini, sering kita jumpai masih banyak aktor antagonis di sektor pendidikan yang memainkan peran sebagai figur yang permisif terhadap perilaku nirintegritas. Terlihat dari hasil Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) 2021 yang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data BPS 2021 menunjukkan fakta yang cukup ironis terhadap perilaku nepotisme dan gratifikasi di sektor pendidikan. Meningkatnya persentase dari 26,43% (2020) menjadi 27,23% (2021) terhadap jawaban wajar pada sikap masyarakat mengenai guru/dosen membantu orang lain yang bukan anggota keluarganya mendapat jaminan diterima masuk sekolah/kampus tempat dia mengajar. Selain itu, sebanyak 8,44 persen masyarakat menganggap wajar terkait kebiasaan sikap memberi uang/ barang/fasilitas kepada pihak sekolah/kampus agar anaknya dapat diterima di sekolah/kampus tersebut yang naik jika dibandingkan tahun 2020.
Lebih lanjut hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2021 menemukan sekurang-kurangnya terdapat 240 kasus korupsi di sektor pendidikan yang ditangani aparat penegak hukum selama kurun waktu 2016-2021, di mana ada 621 tersangka yang terlibat. Kasus tersebut telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 1,6 Triliun dengan berbagai modus, pelaku, dan lokus. Kasus-kasus itu merupakan kasus yang terungkap, sementara kerugian yang menjadi kaki gunung es dari korupsi sektor pendidikan bisa jadi jauh lebih besar. Hal ini mensyaratkan perlu adanya strategi yang paripurna atau komprehensif untuk melakukan normalisasi budaya antikorupsi di institusi pendidikan.
Strategi Dua Model Intervensi
Setidaknya ada dua strategi yang dapat digunakan sebagai panduan dalam mengimplementasikan normalisasi integritas di institusi pendidikan. Strategi pertama adalah internalisasi nilai integritas kepada peserta didik di setiap jenjang pendidikan. Terdapat tiga dimensi inti dalam membangun integritas, yaitu: (1) Motivational trait dengan indikator pembentuknya adalah Idealisme (kejujuran, keadilan, empati, altruisme, dan respect), Acceptance (self-confidence), Kemandirian, Rasa Hormat, Kedisiplinan, Inisiatif, dan Kepemimpinan; (2) Personal Agency dengan indikator pembentuknya adalah Refleksi Diri, Antisipatif, Terencana, dan Mampu Mengelola Diri; serta (3) Keberanian moral dengan indikator pembentuknya adalah Rasa Takut (mengelola takut untuk bertindal benar), Pilihan Moral (mampu memutuskan untuk berpihak pada kebenaran moral dalam situasi dilematis), Pengenalan Situasi Moral (mampu mengidentifikasi pilihan moral), dan Individualitas (mengelola bias budaya di lingkungan). Proses internalisasi nilai integritas terjadi secara bertahap di mana peserta didik mulai menyukai (liking), menjadikannya sebagai acuan (preference), diyakini (conviction), hingga menjadi perilaku utama (behavior). Integritas menjadi nilai dasar yang memotivasi setiap tindakan individu. Apapun kondisi yang dihadapi, individu yang berintegritas memiliki keberanian moral. Sementara di sisi lain, integritas juga menjadi sesuatu yang dirasionalisasi dalam berbagai bentuk tindakan (reasoned action).
Strategi kedua adalah menciptakan integritas ekosistem pendidikan. Strategi ini merupakan upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif agar para agen di dalamnya mampu mempraktikkan perilaku integritas. Salah satu konsep yang dapat diadopsi untuk mengimpelentasikan strategi ini adalah model The Coporate Ethical Virtues (CEV). Terdapat tujuh kebajikan (virtues) yang menurut Kaptein sangat penting untuk dibangun sebagai ethical culture dalam insitusi pendidikan sebagai upaya mengimplementasikan nilai-nilai integritas, yaitu: (1) Kejelasan (clarity), di mana suatu organisasi harus memiliki kejelasan secara konkret, komprehensif, dan mudah dimengerti terkait perilaku etika yang diekspektasikan; (2) Kesesuaian (congruence), di mana para pimpinan, tenaga pendidik, dan staf menjadi role model bagi peserta didik dalam menegakkan nilai-nilai integritas; (3) Kelayakan (feasibility), di mana kode etik yang telah dicanangkan dapat diterapkan secara layak oleh para anggota di dalam institusi pendidikan. Kaptein mencontohkan bagaimana etika “bertanggung jawab” atas tugas-tugas yang diberikan mesti beriringan dengan ketersediaan organisasi untuk memberikan waktu, perangkat, anggaran, dan informasi yang cukup; (4) Dukungan (supportability), berupa insentif agar anggota organisasi termotivasi untuk berperilaku selaras dengan kode etik; (5) Keterbukaan (transparency/visibility), artinya institusi pendidikan mesti memberikan pengetahuan kepada seluruh sivitas akademik mengenai dampak jangka pendek maupun jangka panjang dari tindakan yang berlawanan dari nilai integritas; (6) Komunikasi/diskusi (discussability), berupa tersedianya saluran diskusi/komunikasi dalam institusi pendidikan tidak hanya membuka ruang pemecahan masalah bersama, melainkan juga menjadi jalur efektif untuk membangun kesadaran seluruh anggota akan pentingnya integritas; dan (7) Adanya sanksi (sanctionability) dan apresiasi yang adil, tegas dan konsisten sehingga dapat menciptakan kepercayaan setiap anggota terhadap otoritas pendidikan yang secara langsung akan berdampak pada motivasi anggota dalam berperilaku integritas.